Minggu, 13 September 2009

SATRIA WICAKSANA BAWA KEPEMIMPINAN JAWI LAN ISLAM

Menjadi pemimpin sebuah Negara dalam ruang lingkup besar atau kecil merupakan dambaan setiap warga. Hal itu merupakan kenyataan yang ada di Indonesia. Hasil riset pemilu 9 April 2009, kemarin untuk memilih wakil rakyat yang berkedudukan sebagai DPRDI, DPRDII, DPR, DPD. Khusus daerah Jateng saja empat kursi utama itu diperebutkan oleh beberapa orang yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin. Hal itu menujukkan bahwa hampir setiap orang menginginkan untuk menjadi pemimpin. Awalnya mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau pemimpin di suatu daerah menjanjikan suatu hadiah atau memberikan sembako, bahkan mereka memberikan sejumlah uang, agar banyak masyarakat yang mau memilih dirinya untuk dijadikan sebagai pemimpin atau wakil rakyat.
Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti ketika bangsa Indonesia melakukan pemilu, tanggal 9 April 2009 kemarin banyak masyarakat yang tidak mau memilih para calon pemimpin bangsa Indonesia dan mereka lebih suka untuk bekerja. Para masyarakat yang tidak memilih atau biasa dikenal dengan golput. Mereka beranggapan bahwa para pemimpin itu hanya mengumbar janji atau tidak konsekuan akan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Untuk menanggapi itu semua MUI telah mengesahkan haram golput. Hal itu di lakukan pemeritah untuk menanggulangi para rakyat yang golput.
Untuk mengembalikan lagi kepercayaan rakyat yang golput diperlukan seorang sosok pemimpin yang arif dan bijaksana sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagian masyarakat menginginkan sebuah pemerintahan yang masih berbasis jawa dan islami. Hal ini terbukti di Jogjakarta, yaitu mayoritas rakyat menginginkan pemerintahan di pegang oleh Sultan Hamengku Buwono. Mereka mencalonkan sultan karena mereka meyakini bahwa nantinya jika pusat pemerintahan diambil alih oleh beliau pusat pemerintahan akan berubah menjadi lebih baik. Mereka meyakini bahwa pusat pemeritahan yang dilandasi dengan konsep kepemimpinan jawa, pusat pemerintahan akan menjadi lebih baik. Selain itu juga masyarakat di Indonesia menginginkan pusat pemerintahan yang berbasis islami. Hal ini terbukti bahwa di Indonesia banyak partai politik yang berbasis islam. Dan para partai itu meyakini bahwa pusat pemerintahan yang dilandasi dengan konsep pemimpinan islam atau sesuai dengan ajaran Rasulullah akan menjadikan suatu pemerintahan yang ada di Indonesia ini berubah menjadi yang lebih baik dari sekarang. Untuk itu perlu diadakan konsep pemimpin dalam pemerintahan Indonesia ini perpaduan antara konsep jawa dengan konsep pemimpin sesuai pada masa kepemimpinan Rasulullah yang mana konsep itu sesuai dengan prinsip-prinsip syariat islam. Hal itu sangat perlu dipertimbangkan karena secara geografis ajaran agama islam tersebar luas di seluruh penjuru tanah air Indonesia. memadukan antara konsep pemerintahan antara yang konsep jawa dengan konsep Islami. Selain itu banyak masyarakat Indonesian yang berasal dari keturunan jawa dan mayoritas masyarakatnyapun juga berasal dari jawa.
1. Sosok Pemimpin Jawa atau Kepemimpinana Jawa antara lain:
Kepemimpinan jawaSebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep itu antara lain:
Hastabrata merupakan kisi-kisi dalam pilar-pilar kepemimpinan atau hanya sebagai fondasi yang bersifat tipe ideal. Sumber nilai dari Hastabrata itu untuk membentuk pola kepemimpinan, bukan untuk diterapkan, melainkan bisa menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin pada saat dia berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat untuk menyelesaikan suatu persoalan serta kesulitan yang dihadapi dalam masa kepemimpinan. Orang-orang jawa terdahulu, jika dikonstektualkan dengan makna kepemimpinana “ilmu Hastha Brata, yang sebenarnya sudah lebih canggih dan lebih maju dalam merumuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Misalnya, mereka mampu menggambarkan tentang nilai-nilai yang menyangkut berbagai hal. Tentang kenegaraan maupun tentang kepemimpinan, misalnya dengan ungkapan “negeri panjang-punjung, gemah ripah loh jinawi”( suatu negara yang makmur), ”memayu hayuning bawana”(identik dengan rahmatan lil’alamin),”ratu wijaksana kang berbudi bawa leksana”(raja yang berhati mulia dan arif bijaksana) Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika.
Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif.
Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korupsi, merusak dan lainnya.
Ketiga, air/banyu, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.
Jadi pada dasarnya konsep kepemimpinan jawa Astrabrta menilai bahwa pemimpin itu harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil dalam masa kepemimpinannya. Dan jika para pemimpin indonesia memiliki watak seperti ini maka pemerintahan yang ada di Indonesia akan berjalan dengan baik atau sesuai dengan harapan seluruh masyarakat.
Berdemokrasi
Keempat, watak angin atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.
Surya atau matahari adalah watak kelima di mana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menenteramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tenteram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan memimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Lalu watak ketujuh dalam kearifan Jawa adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Konsep kepemimpinan di mata masyarakat Jawa ialah pemimpin yang ajur-ajer, mayungi wong kodanan, madangi wong kepetengan (bisa menyesuaikan diri, memberi perlindungan orang yang kehujanan, menerangi orang dalam kegelapan), dan seterusnya.
Nilai Jawa itu dibutuhkan di dalam komunikasi dengan masyarakat atau ketika nilai dasar itu disosialisasikan. ”Karena apa? Cara berpikir orang Jawa yang sangat sederhana yaitu mereka berfikiran bahwa “mangan ra mangan sepenting kumpul”, itu berarti filsafat orang jawa mengedepankan kebersamaan dari pada kepentingan individu. Dalam pandangan lain, nilai dasar orang Jawa tentang selamat atau hidup yang selamat (dan sejahtera), hal ini terbukti ketika peringatan tanggal 1 Sura di Keraton Surakarta, yang ditampilkan adalah Kiai Slamet, keluarga kerbau bule yang dikeramatkan, hal ini merupakan kebudayaan yang menjaadi simbol keselamatan dikalangan kehidupan jawa.
Kepemimpinan berasal dari generasi-generasi konsep Islami atau sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Semacam kekuatan atau kemampuan komunitas itu untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan serta kesulitan yang dihadapi.
Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom atau kearifan lokal. Dan secara praktis, kearifan lokal dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah praktiknya berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.
Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan lokal. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.
Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai ”wakil/titisan” dewa atau Tuhan di muka bumi. Tugas mulia seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.
Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam konteks ramainya kontes pemilihan pemimpin, tingkat lokal dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan lokal Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.
2. Kepemimpinan Islam
Kepemimpinan dalam islam itu bersumber pada Al-Qur’an dan hadist. Semua itu dilakukan oleh Rasulullah sesuai dengan perintah Allah. Pada waktu beliau memerintah hampir tidak ada rakyat yang merasa dikecewakan karena beliau memerintah sesuai yang diajarkan oleh Allah. Allah memerintahkan kepada semua ummmat islam bahwa mereka harus mengangkat seorang muslim untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin dan melarang seorang kafir sebagai pemimpin secara umum, menjadikan mereka sebagai penolong dan pelindung, atau masuk pada agama mereka.Hal ini di karenakan sistem atau konsep dalam kepemimpinan Islam dan kafir berbeda jauh, bahkan berkebalikan, sehingga Allah sangat melarang sistem pemerintahan itu. Dalam sistem pemerintahan islam sosok pemimpin ideal yaitu pemimpin yang sholeh dan sesuai dengan syariat Islam.
Jadi pada dasarnya kepemimpinan yang berlandaskan atas kepemimpinan jawa dengan Islam sangat baik untuk diterapkan di Indonesia. Karena Indonesia mayoritas masyarakat berasal dari keturunan jawa dan bergama Islam. Yang mana dari setiap kepemimpinan memiliki makna tersendiri baik yang dari Jawa ataupun Islam. Yang apabila ke dua kepemimpinan itu di padukan akan membuat pemerintahan diIndonesia menjadi lebih dari sekarang dan apabila mungkin bisa berkembang dengan cepat. Dengan ke dua kepemimpinan itu akan dapat mengurangi pemilu golput di Indonesia. Karena mereka mempunyai kesadaran dan tanggung jawab dalam pemerintahan itu untuk memilih sesuai dengan harapan mereka tanpa di berikan suatu imbalan bagi para pemilih. Itu semua merupakan idaman pemimpin di Indonesia, yang diharap bisa memajukan bangsa ini kearah yang lebih baik. Segala sistem yang tidak sesuai dengan kepemimpinan jawa atupun Islam yang dirasa juga tigak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia bisa di hapus. Dan semua itu dapat membuat bangsa ini menjadi dammbaan bagi setiap rakyat Indonesia.










BIOD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar